Haruskah Bermadzhab?
“Ustadz, banyak saudara kita yang fanatik terhadap salah satu imam madzhab; menyangka bahwa bila kita tidak mengikuti atau tidak fanatik terhadap salah satu imam, kita dianggap tidak mempunyai pegangan dalam agama ini. Saya mohon penjelasan ustadz terhadap kekeliruan saudara-saudara kita yang fanatik madzhab tersebut. Syukran.”
Nirwan, Banjarmasin – 08538695xxx
Jawab:
Bapak Nirwan di Banjarmasin, semoga Allâh Azza wa Jalla membimbing kita kepada apa yang diridhai-Nya. Satu hakikat yang tidak diperselisihkan oleh para ulama, bahwa diantara umat Islam tidak ada yang maksum (bebas dari kesalahan) kecuali nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Imam Malik rahimahullâh berkata, “Setiap orang bisa diambil perkataannya dan ditolak, kecuali pemilik kuburan ini,” sambil menunjuk kuburan Nabi Muhammad. (Rijalul Fikr wad Da’wah 1/233)
Dengan demikian, tidak ada seorang ulama pun yang selalu benar. Sehebat apapun seorang ulama, ada kalanya pendapat ulama lain lebih kuat dari pendapatnya atau pendapatmya menyelisihi dalil yang lebih kuat. Jika demikian kondisinya, lantas bagaimana kita diwajibkan untuk fanatik kepada salah satu imam dengan selalu memakai pendapatnya? Yang wajib diikuti adalah dalil dan pendapat yang dalil, siapapun pemilik dalil itu.
Para ulama dan imam madzhab telah berjasa mendekatkan ilmu agama kepada umat. Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati dan membalas jasa mereka. Kita boleh mengikuti salah satu madzhab itu, tetapi tidak wajib. Bahkan madzhab empat yang terkenal belum ada di generasi awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik.
Bermadzhab tidaklah tercela, sebagaimana tidak bermadzhab juga bukan merupakan sebuah kesalahan. Yang salah adalah fanatik kepada madzhab atau imam tertentu dengan terus mengikuti pendapatnya meskipun pendapat itu menyelisihi dalil. Padahal sikap seperti itu dilarang oleh para imam itu sendiri. Seluruh imam madzhab yang empat diriwayatkan mengatakan demikian. Imam Syafi’i misalnya, mengatakan, “Jika haditsnya shahih, maka ambillah dan campakkanlah pendapatku (yang menyelisihinya) ke dinding.” (Nailul Authar, 5/399)
Syaikh Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili hafizhahullâh mengatakan, “Saya mengamati para imam madzhab yang empat, maka saya menemukan sesuatu yang agung. Mereka sama-sama menguasai ilmu al-Qur’an, dan Allah memberikan kepada Malik rahimahullâh dan Ahmad rahimahullâh kelebihan dalam ilmu hadits. Asy-Syafii rahimahullâh diberi kelebihan dalam bahasa Arab dan ushul fiqih, sedangkan kelebihan Abu Hanifah rahimahullâh adalah qiyas dan logika. Maka barangsiapa mengetahui keutamaan mereka dan memilih pendapat yang terkuat dari mereka berempat, terkumpul padanya kelebihan yang diberikan Allâh kepada mereka masing-masing.” (Mudzakkirah Daurah I’dad Mufti, Kaset Pertama)
Ringkasnya, bermadzhab itu boleh, dan tidak wajib. Namun tidak boleh fanatik. Jika ada pendapat dalam madzhab yang menyelisihi al-Qur’an atau hadits, maka ikutilah pendapat yang didukung dalil.
Dijawab oleh Ust. Anas Burhanudin, MA
Soal Jawab Majalah As-Sunnah edisi Khusus (03-04)/Thn. XVII/Sya’ban-Ramadhan 1434 H / Juli-Agustus 2013 M
Kunjungi Toko Online Majalah As-Sunnah, untuk mendapatkan koleksi majalah yang lebih lengkap dengan harga dan penawaran menarik lainnya.
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/soal-jawab/haruskah-bermadzhab/